Mojosari-bjn.desa.id. Miris melihat banyaknya kenyataan dewasa ini terkait banyaknya kasus jamaah umroh yang urung berangkat ke tanah suci gegara mempercayakan ihwal perjalanan ibadahnya kepada biro perjalanan umroh yang tidak amanah dan memakai uang jamaahnya untuk kepentingan pribadi owner biro umroh tersebut. Masih hangat kasus First Travel, sudah lagi muncul perkara Abu Tours yang belakangan juga disita asetnya gegara bermasalah dengan jamaahnya (Detik.Com 30/03/2018).
Menariknya fakta ini adalah selain dari kurangnya seleksi jamaah pada lembaga yang kredibel dan kompeten, adalah kecerdikan pemilik menggunakan sistem pembiayaan haji dengan sistemPonzi. Yup, sistem keuangan atau saya boleh sebut “pencucian uang” ala ponzi adalah sistembisnis yang menghasilkan pseudo-profit. Hanya memutar uang yang tidak menghasilkan sepeserpun keuntungan, kalaulah ada keuntungan jumlahnya sangat kecil dan sudah hampir pasti tidakmampu menutup biaya operasional biro, memberi bonus kepada member pencari jamaah, bahkan untuk membiayai hidup mewah sang pemilik.
Ponzi sendiri adalah nama pemain keuangan superbrilian dari Italia. Pasca perang dunia II Ia hijrah ke Amerika untuk mengejar apa yang disebut pada masa itu “An American Dream”, kemewahan, kekayaan, ketenaran, dan segala kenikmatan yang sangat memikat. Tapi apa lacur, setelah ia sampai di Amerika. Kenyataan berbalik 180 derajat. Hidup di negeri Paman Sam lebih “ngos-ngosan” ketimbang di negeri asalnya. Ia menjadi gelandangan metropolitan, lontang-lantung. Pekerjannya tidak jelas. Nasib yang kurang beruntung ini membuat ia berfikir keras, bagaimana ia dapat menghimpun uang dalam jumlah besar, dengan waktu yang singkat, lalu dengan uang ini, akan ia jadikan untuk mengejar “American Dream”nya.
Berawal dari kebiasaannya mengirim surat kepada handai-taulan yang ada di Italia, Ponzi menemukan celah bisnis yang kelak ia jadikan sebagai bahan jualan menjerat korbannya. Celah itu bernama Postal, semacam perangko yang digunakan untuk berkirim surat lintas batas negara. Harga postal ini tidak sama harganya dari satu negara dengan negara lainnya. Ia berasumsi bahwa dengan “kulakan” dari negara yang harga jual postalnya murah dijual di negara yang harga jual postalnya tinggi. Walaupun pada kenyataannya ia mafhum, selisih harga postal tidak begitu signifikan, ia tetap melaju dengan keyakinan “setengah gila”nya ini.
Segera setelah menemukan “Eureka”-nya ini, Ponzi kemudian “door to door” menawarkan saham bisnisnya kepada orang-orang yang berkelebihan uang dan dibiarkan ngendon di rekening bank. Ponzi mendapati banyak penolakan, namun tidak sedikit yang kepincut kemudian membenamkan uang dan asetnya untuk dikelola oleh Ponzi. Tentunya dengan iming-iming return yang fantastik, hingga 20 persen keuntungan perbulan. Sangat fantastis jika kita bandingkan dengan BI rate saat ini yang tidak pernah lebih besar dari 2 persen.
Jumlah nasabah yang makin membesar membuat Ponzi kemudian mengontrak gedung di ubun-ubun Amerika, tak lupa ia membuka kantor-kantor cabang. Ia rekrut administratur dan operator untuk kantornya secara besar-besaran. Dalam waktu singkat antrean calon nasabah di lembaga keuangannya mengular. Kehebohan bisnis ponzi menggaung hingga ke seluruh pelosok Amerika. Ponzi memanfaatkan hal ini dengan cerdik. Hampir disetiap kantor keuangannya Ponzi memperbanyak kasir penerimaan dari pada kasir pembayaran. Sehingga membuat orang kerepotan ketika mengambil return dari dananya, sebaliknya sangat dimudahkan untuk menanamkan uangnyallagi. Pendek kata: “Jangan pernah ambil uang anda, berinvestasi saja sebanyak banyaknya.”
Kekayaan dan popularitas Ponzi meroket. Ia berlibur ke tempat-tempat favorit dunia. Makan dan pesta ditempat-tempat kelas wahid. Berteman dengan artis-artis papan atas Amerika. Uang seakan tak pernah habis membanjiri kehidupannya. Dibuang seratus ribu, muncul seratus juta. Ponzi benar-benar memeluk “American Dream”.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Seorang kolega yang ia bayar untuk menjadi kuasa hukumnya yang kemudian membongkar praktek Ponzi. Ia menemukan fakta bahwa selama ini Ponzi tidak pernah benar-benar menggunakan uang nasabah untuk berbisnis postal. Dana nasabah diputar sedemikian rupa untuk dibayarkan kepada penanam saham yang lain sebagai return. Begitulah seterusnya. Segera setelah mengetahui hal ini nasabah melakukan withdrawal besar-besaran. Uang mereka diambil kembali karena sudah tidak percaya lagi dengan Ponzi. Seluruh kantor mengalami chaos karena tidak lagi memiliki kas, sementara antrean nasabah untuk mengambil uang mereka tetap saja mengular hingga malam hari.
Kantor pusat Ponzi digeledah, namun Polisi hanya menemukan neraca keuangan yang nilainyaamat sangat kecil, hanya dibawah sepuluh juta. Sementara Uang nasabah yang dititipkan kepada Ponzi puluhan milyar, tembus trilyunan. Tamatlah riwayat Ponzi. Singkat kata ia harus “ngunduh wohing pakarti” atas perbuatannya dengan hukuman penjara dan kemiskinan hingga ajal menjemputnya.
Kisah Ponzi ini memberikan pelajaran kepada siapa saja, bahkan bisa ditiru dengan mudah karena sangat applicable. Hampir sama dengan kasus pemilik biro travel abal-abal yang menjamur saat ini, beda komoditasnya saja.
Pelaksanaan waktu bayar dan pemberangkatan jamaah umroh atau haji yang sering dimanfaatkan celahnya oleh pengusaha travel nakal. Karena calon jamaah harus membayar dimuka, kemudian menunggu pemberangkatan bertahun-tahun sesudahnya. Lazimnya pemilik usaha travel memberikan iming-iming harga murah dengan kualitas super mewah. Lalu, uang siapakah yang dipakai untuk membayar fasilitas mewah ini ?. Tentunya bukan uang owner travel, tapi uang jamaah yang sudah daftar namun masih dalam masa tunggu. Pendek kata, berangkat sekarang, menikmati kemewahan perjalanan sekarang, dengan uang jamaah yang akan berangkat tahun depan, begitu seterusnya. Tanpa putus. Berantai.
Sebenarnya skema Ponzi ini cukup aman jika dijalankan dengan amanah dan penuh tanggung jawab, artinya owner travel mengambil keuntungan sewajarnya murni dari diskon hotel, diskon catering, diskon ticketing, diskon baju seragam, carrier dan pengurusan dokumen. Keuntungan penyelenggara dari margin pembayaran pos-pos tersebut saja, tanpa mengutak-atik biaya pokok pemberangkatan jamaah. Jika tergoda untuk memakainya demi kepentingan pribadi, apalagi hanya untuk membeli gengsi dan gaya hidup sang pemilik travel maka kasusnya akan seperti First Travel. Uang jamaah dipakai untuk berbisnis sang owner.
Namun, tidak sedikit juga biro umroh yang jujur. Memberikan harga yang wajar bagi konsumen dan tidak memberikan janji setinggi langit perihal keberangkatan yang dipercepat atau fasilitas bintang lima. Biro yang jujur ini yang seharusnya lebih dipercaya masyarakat. Tentunya masyarakat harus diberikan pemahaman oleh pihak terkait tentang memilih biro yang baik. Sehingga niat tulus mereka dapat tertunaikan dengan baik dan aman*/. (Cat/Webdes)